Rabu, 26 September 2007

tentang Pak Wie

dia orang yang selalu memberi inspirasi, buat ditulis. ini salah satu tulisan setelah ketemu sama dia...
Oei Hiem Hwie
Berteman dengan Kelamnya Masa Lalu

“Setiap saat dalam benak saya seperti ada slide, rol film yang berputar, siapa yang akan dibunuh malam ini. Saya atau dia yang ada di sudut ruang yang sama dengan saya. Rol film itu berputar secara otomatis bila saya sedang sendiri, mendengar suara derap langkah sepatu boot, gemerincing kunci yang begesekan satu sama lain, atau suara mobil melintas, terutama jip.”

Oleh: Titik Qomariyah
Kalimat itu meluncur dari bibir Oei Hiem Hwie. Bukannya paranoid, namun ketakutan ini mengalir begitu saja setelah 13 tahun mendekam dalam tahanan, berpindah hingga lima kali dari kamp tahanan yang satu ke kamp tahanan yang lain. Tentu tanpa proses hukum dan peradilan yang jelas, apalagi bukti pendukung kesalahan. Statusnya sebagai sekretaris Badan Permusyawaratan Kewarganegaraan Indonesia (Beperki) dan wartawan Terompet Masyarakat terbitan 1960-1963, sudah cukup menjadikannya sebagai sasaran.
Bayang-bayang ketakutan ini bukan hanya milik dia, namun juga mantan tahanan politik Pulau Buru lainnya, termasuk Pramoedya Ananta Toer yang sebelum meninggal sempat mengutarakan hal tersebut pada keluarganya serta rekan-rekan sesama eks tapol.
Itu pula yang membuatnya tidak mampu menyelesaikan tulisan tentang otobiografinya yang dikerjakan hampir setahun, namun belum rampung juga.
“Waktu diperiksa dokter syaraf Suyunus, dipotret dari atas, bawah, kanan dan kiri, dia bilang ‘Pak Wie suka mainan listrik, ya?’”. Rupanya, dokter itu melihat ada bekas akibat setruman pada dirinya. “Saya sejalaskan bahwa saya tidak suka main listrik, tapi memang disetrum oleh orang lain,” lanjut Pak wie, panggilan akrab Oei Hiem Hwie.
Meski memiliki catatan hidup sebagai korban gonjang-ganjing politik masa lalu, namun Pak Wie, laki-laki 72 tahun keturunan Tionghoa itu, tetap bersemangat menjalani sisa hidupnya. Berperawakan tinggi, Pak Wie masih terlihat tangkas. Cara berjalananya gesit, gesit pula memilih buku di antara sederet buku, koran dan majalah di rak yang terbagi dalam tiga bagian. Ketiga bagian itu adalah bagian koleksi langka, bagian koleksi khusus, dan bagian koleksi umum berisi bermacam jenis buku, majalah, koran dan jurnal yang ada di lantai dua perpustakaan Yayasan Medayu Agung di Jl. Medayu Selatan IV.
Bukan hanya tangkas memeriksa buku yang berjajar di rak bertingkat setinggi 1,5 meter, jemarinya juga tangkas berlompatan di atas tuts mesin ketik putih buatan tahun 1960-an yang hingga kini masih dia gunakan untuk mengirim surat pada penerbit, penulis buku atau pada kolega lainnya. Di situ memang ada perangkat komputer dan printer modern, namun Pak Wie belum “kenal”.

Tolak Jual Buku
Hampir tujuh tahun terakhir namanya mulai dikenal publik Surabaya dan dunia internasional lantaran kiprahnya mengelola perpustakaan. Maklum, perpustakaan kecil itu menyimpan ribuan jenis buku langka yang sudah tidak dijumpai lagi di pasaran maupun toko buku, baik dalam maupun luar negeri.
Di antara koleksi buku langka yang lolos dari vandalisme dan masih disimpan adalah Mein Kampf edisi Bahasa Jerman karya dedengkot NAZI, Adolf Hitler. A Study Of History milik Arnold Toynbee, empat seri buku terbitan VOC tentang Indonesia, Ge Schiedenis Van Nederlandsch Indie terbitan 1930 yang disusun Prof Dr C.C. Bergc, Wessels SJ dan Dr Hterpstna. Tulisan tangan tetralogi Pulau Buru karya Pram dan masih banyak lagi.
Konon buku tersebut pernah ditawar seorang peneliti asal Australia yang ingin mengupas sejarah Indonesia dengan tawaran Rp 1 miliar, namun dia menolak. Menurut putra keduanya, Yudi Sandika, bapaknya sudah cukup makan, dia juga tidak kehujanan. “Jadi mengapa harus jual buku? Suatu saat nanti kalau saya butuh buku mau cari di mana?” begitu cerita Pak Wie.
Dlam kebimbangan, nasionalismenya pun menyuarakan ada ancaman besar jika dia melepas koleksinya yang saat itu disimpan di rak ruang tamu, lemari, serta kolong tempat tidur.
“Iya kalau penelitianyya untuk kebaikan tidak masalah. Kalau penelitiannya untuk mencari kelemahan Indonesia, lantas menjerumuskan bangsa ini hingga kian terpuruk? Aku iso dituding-tudingi tangan menjual negeri sendiri. Wah cilaka saya di alam baka nanti,” katanya.
Nama Pak Wie makin dikenal setelah ia memperoleh penghargaan Board Preference dari Surabaya Academy Award di Hotel Hyatt Regency, tahun 2004 lalu.

Berteman Stres
Kini, Pak Wie hidup bukan hanya berteman buku. Ia juga harus berakrab ria dengan stres. Hasil pemeriksaan dokter ahli syaraf menunjukkan dalam sel syaraf di kepala Pak Wie terdapat bekas luka akibat sengatan listrik yang dilakukan secara berulang-ulang dalam jangka waktu lama. Sakit kepala Pak Wie akan menghebat bila ada kejadian yang memicu kerja syarafnya, seperti satpam ronda. Gesekan sepatunya yang berat dan gemerincing kunci, mengingatkan Pak Wie pada masa penahanannya dulu.
“Di masa lalu, terutama di kamp pabrik makanan kaleng milik tentara di Batu dan di penjara Kalisosok, setiap ada tentara yang berjalan di tengah malam, membawa kunci sel, pasti ada tahanan yang diambil dan tidak pernah kembali lagi ke selnya. Padahal, mereka dipanggil dengan alasan mendapat amnesti, keringanan, atau dibebaskan. Benar mereka itu dibebaskan, tapi dibebaskan di negeri cacing sana,” kata Pak Wie.
Menurut suami Sri Widiati ini, tapol di Surabaya dibuang ke sumur di kawasan yang kini menjadi Rusun Penjaringansari. Sementara mereka yang “diambil” dari kamp di Batu, biasanya dibunag di air terjun di Kebun Raya Purwodadi. Pembuangan mayat ini sengaja disilang antar-daerah agar keluarga yang ditinggalkan tidak bisa melacak anggota keluarganya yang hilang.
Akibat siksaan selama di tahanan bukan hanya membuat ilusi pembantaian mendekam permanen di kepala bapak dua anak ini, namun juga membuatnya lupa arah atau sindrom area. Dokter melarangnya mengendarai mobil dan motor. Sebab, sensor sel otak yang merangsang untuk mengenali sebuah tempat baik rumah atau lalu lintas, tidak berfungsi. Meghindari terjadinya kecelakaan lalu lintas, dokter menyarankan dia agar menggunakan sopir atau dibonceng. Naik angkutan umum pun bukan jalan keluar. Pasalnya, saat sampai pun dia akan lupa rumah atau toko siapa yang ditujunya.
Pernah suatu hari, saat masih menjadi sales buku di penerbit Gunung Agung, dia harus menungggu dan berputar berjam-jam hingga ingatannya pulih. Itu pun harus dibantu istirahat dan minum air putih sebanyak-banyaknya.
“Sering terjadi toko yang saya tuju itu ada di muka saya persis, tapi saya cari sampai mumet nggak ketemu-ketemu. Ya seperti itu sampai sekarang. Karena itu teman-teman sepakat kalau lokasi perpustakaan ini didekatkan dengan rumah saya,” ungkapnya.
Menurut dr Suyunus sendiri, umumnya tahanan memang mengidap stres. Apalagi dalam tahanan perilaku homoseksual adalah hal biasa. “Jadi jangan heran kalau ada yang nggak kuat lantas melakukan sama kambing atau mentok. Ada juga kejadian seperti itu. Lha mau bagaimana lagi? Istri atau pacar nggak ada, sudah dikawini sama pejabat-pejabat waktu kami di penjara,” kata Pak Wie.
Karena itu, ia bersyukur karena saat ditahan belum mengenal perempuan, selain kasih sayang ibunya yang meninggal 50 hari sebelum dia dibebaskan. Dia baru mengenal perempuan setelah keluar dari Buru pada usia sekitar 37 tahun. Tak menunggu lama, ia menikahi Sri Widiati, perempuan asal Madura, mantan karyawan perusahaan di Kawasan Perak yang setia menemani hingga saat ini. Pasangan ini dikaruniai 2 anak laki-laki, Adi Sandika yang kuliah di Universitas Widya Mandala dan Yudi Sandika yang menempuh pendidikan di ITS. (*)

hari ini

hari ini pertama kali aq bikin blog. sudah lama pengen punya. tapi males banget. banyak yang pengen ditulis. senang, sedih, tertawa, ditertawakan mau menertawakan. hehehe......
sebab buku harin sudah nggak aman lagi. keluarga juga jauh, jadi sendiri,...